Virus,
ilustrasi (credit to Waag)
“Kamu”
pikir kamu akan “menyerang” aku? Ada sesuatu kejadian akan
menimpamu, karena aku sudah ambil
ancang ancang
atas kelakuanmu.
Karena
itulah ada sebuah kartu di dalam dompetku yang menyebutkan aku
berdarah AB negatif, serta menyatakan aku alergy terhadap penicillin,
aspirin, dan phenylalanine.
Pernyataan
lain di kartu adalah aku seorong ilmuwan yang punya komitmen terhadap
agama. Semua info ini diharapkan menghambat keinginanmu bila saatnya
tiba, sangat pasti akan segera datang.
Meskipun
jika akan menyebabkan perbedaan antara hidup dan mati, aku tidak akan
membiarkan siapun memasukkan jarum transfusi ke lenganku. Tidakkan
pernah darah bantuan masuk kedalam tubuhku.
Tubuhku
sudah punya antibody. Jadi menjauhlah dariku. Aku takkan menjadi
korbanmu. Aku takkan membiarkan diriku jadi inang perantara.
Aku
tahu kelemahanmu. Engkau rapuh, seperti iblis yang tidak kelihatan.
Engkau tidak bisa hidup di udara, panas, dingin, asam atau di
lingkungan basa. Dari darah ke darah, itulah rutemu.
Apa
kelebihanmu dari yang lain? Kamu pikir kamu telah berevolusi dengan
cara sempurna?
Apa
panggilan Leslie Adgeson terhadapmu? Master yang sempurna? Virus
teladan?
Aku
ingat, dulu, ketika HIV, virus AIDS membuat semua orang takjub dengan
struktur
mematikan. Tapi jika dibandingkan dengan kamu, HIV hanyalah tukang
jagal yang kasar.
Seorang
maniak dengan gergaji mesin, kesalahan besarmu adalah membunuh “inang
perantara” dan transmisimu sangat tergantung pada kebiasaan manusia
yang jika sedikit berusaha, akan mampu mengontrolmu.
HIV
punya trik tinggi, jika dibandingkan denganmu, hanyalah amatiran.
Rhinovirus
dan virus flu juga pintar. Mereka berbiak dan bermutasi dengan cepat.
Mereka menyebabkan bersin, ingusan, mendesah pada korbannya, sehingga
korbannya menderita dari segala arah.
Virus
flu lebih pintar dari AIDS, karena mereka umumnya tidak membunuh si
korban, hanya menyebabkan penderitaan, kemudian menginfeksi ke
tetangga si korban.
Oh,
Les Adgeson selalu menuduhku “memanusiakan” penelitian kami. Bila
dia datang ke laboratorium, dan mengetahui aku sedang meningkatkan
dosis obat obatan, maka dia akan bereaksi seperti biasanya.
Aku
bisa menggambarkan reaksinya yaitu alis matanya bergerak ke atas,
kemudian berkomentar dengan dialek Winchester.
“Forry,
si virus tidak bisa mendengarmu. Dia bukan mahluk hidup, bahkan tidak
bergerak. Virus hanya kumpulan “genes” di dalam cangkang
protein.”
“Ya,
Les, jawabku. Tapi genes yang mementingkan dirinya sendiri! Diberikan
setengah saja kesempatan, maka mereka akan menginfeksi semua sel
tubuh manusia, memaksa sel
tubuh
untuk memproduksi tentara virus baru kemudian meledak dan menyerang
yang lain.”
“Mereka
mungkin tidak berpikir. Semua tingkah lakunya berevolusi berdasarkan
random. Bukan karena perencanaan kan? Apakah mahluk kecil menjijikkan
ini diarahkan oleh seseorang untuk membuat kita susah? Menyebabkan
kita mati?”
“Oh,
Fory.” Les Adgeson akan tersenyum pada kecerdikanku. “Kamu
takkan meminati bidang ini jika kamu tidak menemui keindahannya.”
Les,
si tua yang baik. Dia tidak pernah bisa mengerti bahwa aku tertarik
dengan virus karena alasan lain.
Aku
tertarik dengan virus karena kulihat adalah mahluk sederhana yang tak
pernah puas dan punya ambisi bahkan melebihi ambisi manuasi manapun.
Adalah
fakta, virus tak punya otak, inilah yang membuatku tak ragu bahwa
manusia lebih cerdas.
Kami
bertemu ketika Les Adgeson berkunjung ke Austin saat liburan
Sabbatical beberapa tahun lalu.
Dia
kemudian mengundangku berkunjung ke Oxford, disanalah aku secara
rutin berargumen tentang penyakit, semakin seru ketika hujan menetes
di luar sana.
Les
Adgeson dengan gaya pertemanan yang
unik
dan seni filsafatnya – hampir setiap waktu ngoceh tentang indah dan
anggunnya mahluk yang bernama virus.
Aku
tahu, dia agak “gila” dibandingkan dengan peneliti lainnya.
Memiliki obsesi untuk mencari dan memecahkan teka teki virus yang
arah arahnya sedikit untuk mendapatkan “reward” berupa: “dana
penelitian,” memperlebar ruang labor, peralatan canggih dan
prestise…. Dan mungkin pelan pelan memenangkan hadiah Nobel dari
Swedia.
#
Bersambung.
Diterjemahkan
dan dimodifikasi dari judul asli: The
Giving Plague oleh
David Brin
Cerpen
ini adalah pemenang kedua "Hugo Award."